Namaku Adi , aku memiliki seorang pahlawan yang
memperjuangkanku dan kedua adiku menggapai pendidikan tertinggi, Ia adalah ayahku.
Saat ini aku belajar diperguruan tinggi yang cukup terkenal dinegriku Sedangkan
kedua adikku masih duduk dibangku SMA dan SMP. yang kecil bernama Yuni masih
kelas 1 SMP dan kakaknya bernama Tina kelas 3 SMA. Orang tua kami bekerja
mati-matian menghidupi keluarga. Ayah berprofesi sebagai pemungut barang
bekas/pemulung dan Ibu hanya sebagai pekerja rumahan.
Mungkin
sedikit aneh dengan profesi orang tuaku saat ini, namun mampu menyekolahkan
ketiga anaknya. Menyusuri jalanan, membongkari tempat sampah itulah ayahku.
Ayahku bercita-cita memiliki anak yang hebat mampu berbakti kenegara dan
khususnya berbakti kepada kedua orang tua. Ayahku tak ingin anaknya mengikuti
jejaknya yang hanya lulusan kelas 4 SD dan akhirnya hidup apa adanya seperti
saat ini. Bermodalkan cita-cita mulia, ayahku tak malu-malu menekuni segala
jenis pekerjaan apapun, agar anak-anaknya menjadi orang hebat.
“Kamu
kelak harus mampu menjadi pemimpin Negara , Nak. Jangan mengikuti jejak Ayah.
Kamu harus bisa mengubah keluarga ini. Cukup ayah saja yang merasakan kepedihan
hidup ini. Ayah akan lakukan apapun agar kamu dan adik-adikmu menjadi orang
pintar dan bisa sukses.”
Mendengar
wejangan ayah, entah mengapa tiba-tiba hatiku tersentuh terdiam dengan
kata-katanya. seketika Semangatku untuk terus beajar menjadi berkobar. Dalam
hati kecilku berkata, “Terimakasih Ayah. Semoga kebaikanmu dibalas dengan
keindahan kelak. Aku berjanji akan membawa keluarga kita ke puncak kehidupan
Yang lebih baik. Dan aku berjanji akan berbakti bina bangsa, Yah.”
Hidupku
dan adik-adiku merasa sangat beruntung mempunyai ayah seperti ayahku. Tak kenal
lelah, tak kenal letih, panas dijadikan dingin, hujan dijadikan salju. Entah
beribu kilo meter derita yang sudah ayahku susuri. Semangat ayahku menyekolahkan kami tidak
dapat dipandang sebelah mata dari sisi yang ditekuninya. Namun bagaimana dan
apa teknik ayahku sampai bisa menyekolahkan ketiga anaknya sampai jenjang
tinggi.
Sekitar
jam 04.00 ayahku selalu bangun dan membangunkan kami. Banyak kewajiban yang
harus Ia selesaikan, seperti membangunkanku untuk sholat dan menyiapkan grobak
peyot andalanya. Setiap waktu subuh kami
tak lupa berjamaah, tapi hanya subuh saja. Waktu sholat yang lain kami
jarang-jarang bisa berkumpul dirumah. Ayah berangkat menyusuri jalanan dimulai
pagi sampai menjelang malam, aku dan adik-adiku sibuk sekolah dan bergelut
kegiatan ekstra. Mungkin terkadang hanya ibuku saja di rumah, kalau siang itu
selalu sepi rumahku.
Ayahku
beda dengan ayah-ayah lain diluar sana. Profesinya mampu mengantarkan ketiga
anaknya ke dunia pendidikan sampai selesai. Kemungkinan ayah-ayah lainya belum
tentu bisa seperti ayahku. Meskipun penghasilan ayah lain lebih besar, tapi
kalau kurang ada kemauan sepertinya percuma saja. Tak peduli hujan dan panasnya
matahari, ayahku selalu bekerja dan selalu membawa hasil meski sedikit.
Kehidupan
keluargaku memang sederhana. Ayahku bilang dari kesederhanaan akan menginjak
kekebahagiaan. Memang benar kata ayahku, kehidupan kami sudah cukup bahagia.
Kebahagian tak selamanya didasari oleh uang. Kebahagiaan sebenarnya adalah bisa
kumpul keluarga setiap hari, canda tawa bersama, dan susah senang bersama.
Sembari
menekuni pekerjaan menyusuri jalanan setiap hari, ayahku juga menerima
pekerjaan serabutan. Ayahku mau menerima pekerjaan apa saja asalkan hasilnya
halal. Menyusuri jalan diliburkan ketika ada orang yang membutuhkan tenaga
ayahku. Karena disuruh orang lain untuk kerja serabutan hanya kadang-kadang. Ayahku
selalu menyanggupi saja, karena penghasilanya agak lebih banyak dari pada
pekerjaan tiap harinya. dan hitung-hitung untuk menyambung persaudaraan dengan
orang lain. Sangat bijak sekali ayahku itu.
Ayahku
memang mempunyai latar belakang yang sangat menyedihkan, membaca tulisan saja
kurang lancar. Namun ayahku sangat perhatian dengan kondisi pendidikan
anak-anaknya. Aku dan adik-adiku selalu ditanya mengenai perkembangan belajar
kami.”lancar atau tidak belajarnya.” Kata-kata itu tidak asing lagi ku dengar dari
ayah.
“Bagaimana,
Nak kuliahmu. Ada masalah atau tidak.”
“Tidak
ada, Ayah. kuliahku lancar-lancar saja.”
“Ya
sudah, tingkatkan belajarnya agar dapat nilai bagus.”
“Iya
,Ayah. Adi usahakan tetap terus belajar,
agar dapat nilai bagus.”
“Anak
yang baik,” memeluk tubuhku, “Ayah selalu mendokanmu dan adik-adikmu agar
menjadi orang sukses kelak, Di.”
“Terimakasih,
Ayah.”
Ayahku
sangat perhatian, Ia selalu mengingatkanku agar semakin rajin belajarnya, dan Ia
selalu mendoakan kami disetiap sela sholatnya.
Suatu
ketika aku membutuhkan dana untuk membayar perkuliahan, dan aku harus bilang ke
Ayah. Sebernarnya aku mengerti kalau ayah saat ini tak memiliki uang sebanyak
uang yang tertolal pada kertas merah yang aku pegang. Dan aku tidak bisa diam
saja menyembunyikan kertas itu. Karena satu-satunya pahlawanku didunia ini
hanyalah ayah. Ayahku tetap santai melihat jumlah yang tertera pada kertas yang
aku berikan. Seolah-olah ayahku memiliki uang banyak.
“Yah,
aku membutuhkan uang segini,” ku berikan kertas berisi rincian pembayaran.
Ayahku menyimaknya dengan serius sambil mengangguk-nganggukan kepala.
“Oh
iya, Nak. Gampang kalau Cuma segini. Mau dibutuhkan kapan?”
“Satu
minggu lagi, Yah.”
“Gampang
itu, kamu yang rajin saja belajarnya. Gak usah mikir ini. Biar ini menjadi
urusan ayah.”
“iya,
Yah, makasih.”
Sebenarnya
aku merasa tidak enak menjadi anak tertua yang berpendidikan tinggi, tapi masih
merepoti orang tua. Namun apa daya, aku juga belum bisa memfokuskan belajar
dengan bekerja. Sebelum aku bubar dengan ayah, tiba-tiba adiku yang SMA datang
dan minta uang untuk bayar sekolahnya juga. Karena adiku yang ini sudah hampir
lulus sekolahnya. Kebutuhan-kebutuhan pembayaran sekolahnya semakin banyak.
Ayahku hanya bisa senyum-senyum saja, Ia tidak mengeluh sedikitpun. Aku merasa
kasihan melihat ayah yang menanggung segala kebutuhan kami.
“Yah,
aku disuruh bayar ujian. Ini rincianya,”adiku memberikan rincian dana yang
dibutuhkan. Ayahku kembali mencermati kertas yang berisi rincian dari adiku
dengan seksama. Beberapa detik kemudian ayah menghela nafas panjang-panjag
kemudian tersenyum. Disana masih ada aku. Jadi kami bertiga saat itu.
“Baiklah.
Satu minggu lagi uang yang kalian butuhkan akan ayah berikan ya.”
“Iya,
Yah. Gak boleh telat ya, Yah,” sahut adiku.
“Iya,
sayang... Kamu tingkatkan belajarmu. Yang rajin agar menjadi orang sukses
nanti.”
Ayahku
memang pahawan terhebat yang pernah kutemui. Ia menganggap permasalahan menjadi
senyuman. Ia tetap santai seperti tidak ada masalah apa-apa. Dan seolah-olah Ia
memiliki uang banyak untuk kebutuhanku dan adiku. Ternyata benar, satu minggu
kemudian aku dan adiku diberi uang sesuai rincian yang kami berikan ke ayah.
Aku sedikit berfikir dan heran ke ayahku. Waktu itu aku sempat berfikir apakah
ayahku bisa mendapatkan uang yang cukup banyak untuk biaya kuliah dan sekolah
adiku. Aku sudah berfikir salah, ayahku benar-benar serius dengan tekadnya
memperjuangkan pendidikan kami. Dan aku tidak berani bertanya dapat dari mana
uang yang diberikan ke aku.
pada waktu aku memakai toga disebuah gedung
yang disaksikan seluruh wali wisudawan termasuk ayahku. Kebanggaan ayahku tiba
saat mendengar aku dipanggil oleh rektor sebagai widuwanan terbaik. Hanya dengan mengusahakan nilai baik inilah
yang hanya bisa ku buat untuk membalas budi kerja keras ayah memperjuangkanku
selama ini. Ayahku saat itu merasa terbayar kerja kerasnya ketika melihatku
menjadi wisudawan terbaik.
Ada
satu sesi dalam serangkaian acara wisuda, yaitu pemberian penghargaan kepada ayah
terfavorit. Dan ayahku dipanggil kedepan oleh rektor, karna ayahku menjadi ayah
terfavorit. Aku dan ayahku dipanggil untuk naik ke pentas. Ayahku dapat
penghargaan karena semangtanya mencerdaskan anak dari kategori pekerja yang
hanya sebagai pemulung, namun bisa memperjuangkan anak sampai jadi sarjana.
Disaksikan beribu hadirin dan wisudawan aku dan ayah menjadi sangat bahagia. Khususnya
aku yang sangat bangga memiliki ayah seperti ayahku.
Selesainya acara wisuda, semua hadirin berhamburan meninggalkan
tempat prosesi wisuda. Belum sampai keluar dari pintu tempat wisuda, aku dan
ayahku mendapat satu kejutan baru. Kami
didatangi dua orang berjas yang amat rapi. Mereka melamarku agar mau bekerja
diperusahaan yang cukup terkenal dinegri ini. Setelah kedua orang itu banyak
bicara tentang perusahaanya, mereka memberi pertanyaan yang membuat aku bingung
harus menjawab apa.
“Apakah
saudara bersedia bergabung dengan perusahaan kami.”
Dengan
ekspresi seperti orang bodoh, Aku bingung mau menjawab apa, dan aku melihat
ayahku. Tenyata ayahku hanya tersenyum
dan mangguk-mangguk saja, kemudian berkata sambil memeluku,
“Selamat
ya, Nak. Kamu memang anak yang ayah banggakan.”
Mendengar
ucapan ayahku, aku berfikir itu adalah kode bahwa aku harus menerima lamaran
pekerja itu.
Seiring
berjalanya waktu. Pekerjaanku mampu membuat ekonomi keluargaku menjadi lebih
baik. Aku bisa membiayai adiku sekolah dan mampu memenuhi kebutuhan keluargaku.
Dan aku memodali ayah agar membuat usaha dirumah. Jadi ayahku tidak perlu
besusah payah lagi menyusuri sepanjang jalanan untuk mencari barang-barang
bekas .
Aku
sangat bersyukur menjadi seperti saat ini, dan aku tidak lupa kerja keras
ayahku dulu yang memperjuangkanku sampai sukses seperti sekarang. Aku mencoba
membalas budi sepenuhnya ke ayahku. Aku tidak akan membuat ayah bersusah payah
lagi. Cukup pada waktu aku masih kuliah saja ayahku berjuang keras semata-mata
hanya agar anaknya menjadi orang sukses.
Ketika
aku menjadi orang sukses, aku harus mampu membahagiakan ayahku dan mengabulkan
cita-citanya dulu. Terimakasih sebanyak-banyaknya untuk ayahku yang sudah
menjadikanku orang sukses, memperjuangkanku sampai menjadi saat ini. Jasamu tak
kan pernah aku lupa. Kan ku usahakan semua yang kau berikan ku bayar lunas. Kau
sangat beda dengan ayah lainya, kau mempunyai semangat tinggi, dan kau adalah
kunci hidupku. Terimakasih ayah, terimakasih.