Cerpen_Ayahku Seorang Pemulung


 pemulung 
Namaku Adi , aku memiliki seorang pahlawan yang memperjuangkanku dan kedua adiku menggapai pendidikan tertinggi, Ia adalah ayahku. Saat ini aku belajar diperguruan tinggi yang cukup terkenal dinegriku Sedangkan kedua adikku masih duduk dibangku SMA dan SMP. yang kecil bernama Yuni masih kelas 1 SMP dan kakaknya bernama Tina kelas 3 SMA. Orang tua kami bekerja mati-matian menghidupi keluarga. Ayah berprofesi sebagai pemungut barang bekas/pemulung dan Ibu hanya sebagai pekerja rumahan.
            Mungkin sedikit aneh dengan profesi orang tuaku saat ini, namun mampu menyekolahkan ketiga anaknya. Menyusuri jalanan, membongkari tempat sampah itulah ayahku. Ayahku bercita-cita memiliki anak yang hebat mampu berbakti kenegara dan khususnya berbakti kepada kedua orang tua. Ayahku tak ingin anaknya mengikuti jejaknya yang hanya lulusan kelas 4 SD dan akhirnya hidup apa adanya seperti saat ini. Bermodalkan cita-cita mulia, ayahku tak malu-malu menekuni segala jenis pekerjaan apapun, agar anak-anaknya menjadi orang hebat.
            “Kamu kelak harus mampu menjadi pemimpin Negara , Nak. Jangan mengikuti jejak Ayah. Kamu harus bisa mengubah keluarga ini. Cukup ayah saja yang merasakan kepedihan hidup ini. Ayah akan lakukan apapun agar kamu dan adik-adikmu menjadi orang pintar dan bisa sukses.”
            Mendengar wejangan ayah, entah mengapa tiba-tiba hatiku tersentuh terdiam dengan kata-katanya. seketika Semangatku untuk terus beajar menjadi berkobar. Dalam hati kecilku berkata, “Terimakasih Ayah. Semoga kebaikanmu dibalas dengan keindahan kelak. Aku berjanji akan membawa keluarga kita ke puncak kehidupan Yang lebih baik. Dan aku berjanji akan berbakti bina bangsa, Yah.”       
            Hidupku dan adik-adiku merasa sangat beruntung mempunyai ayah seperti ayahku. Tak kenal lelah, tak kenal letih, panas dijadikan dingin, hujan dijadikan salju. Entah beribu kilo meter derita yang sudah ayahku susuri.  Semangat ayahku menyekolahkan kami tidak dapat dipandang sebelah mata dari sisi yang ditekuninya. Namun bagaimana dan apa teknik ayahku sampai bisa menyekolahkan ketiga anaknya sampai jenjang tinggi.
            Sekitar jam 04.00 ayahku selalu bangun dan membangunkan kami. Banyak kewajiban yang harus Ia selesaikan, seperti membangunkanku untuk sholat dan menyiapkan grobak peyot andalanya. Setiap waktu subuh kami  tak lupa berjamaah, tapi hanya subuh saja. Waktu sholat yang lain kami jarang-jarang bisa berkumpul dirumah. Ayah berangkat menyusuri jalanan dimulai pagi sampai menjelang malam, aku dan adik-adiku sibuk sekolah dan bergelut kegiatan ekstra. Mungkin terkadang hanya ibuku saja di rumah, kalau siang itu selalu sepi rumahku.
            Ayahku beda dengan ayah-ayah lain diluar sana. Profesinya mampu mengantarkan ketiga anaknya ke dunia pendidikan sampai selesai. Kemungkinan ayah-ayah lainya belum tentu bisa seperti ayahku. Meskipun penghasilan ayah lain lebih besar, tapi kalau kurang ada kemauan sepertinya percuma saja. Tak peduli hujan dan panasnya matahari, ayahku selalu bekerja dan selalu membawa hasil meski sedikit.
            Kehidupan keluargaku memang sederhana. Ayahku bilang dari kesederhanaan akan menginjak kekebahagiaan. Memang benar kata ayahku, kehidupan kami sudah cukup bahagia. Kebahagian tak selamanya didasari oleh uang. Kebahagiaan sebenarnya adalah bisa kumpul keluarga setiap hari, canda tawa bersama, dan susah senang bersama.
            Sembari menekuni pekerjaan menyusuri jalanan setiap hari, ayahku juga menerima pekerjaan serabutan. Ayahku mau menerima pekerjaan apa saja asalkan hasilnya halal. Menyusuri jalan diliburkan ketika ada orang yang membutuhkan tenaga ayahku. Karena disuruh orang lain untuk kerja serabutan hanya kadang-kadang. Ayahku selalu menyanggupi saja, karena penghasilanya agak lebih banyak dari pada pekerjaan tiap harinya. dan hitung-hitung untuk menyambung persaudaraan dengan orang lain. Sangat bijak sekali ayahku itu.
            Ayahku memang mempunyai latar belakang yang sangat menyedihkan, membaca tulisan saja kurang lancar. Namun ayahku sangat perhatian dengan kondisi pendidikan anak-anaknya. Aku dan adik-adiku selalu ditanya mengenai perkembangan belajar kami.”lancar atau tidak belajarnya.”  Kata-kata itu tidak asing lagi ku dengar dari ayah.
            “Bagaimana, Nak kuliahmu. Ada masalah atau tidak.”
            “Tidak ada, Ayah. kuliahku lancar-lancar saja.”
            “Ya sudah, tingkatkan belajarnya agar dapat nilai bagus.”
            “Iya ,Ayah. Adi usahakan  tetap terus belajar, agar dapat nilai bagus.”
            “Anak yang baik,” memeluk tubuhku, “Ayah selalu mendokanmu dan adik-adikmu agar menjadi orang sukses kelak, Di.”
            “Terimakasih, Ayah.”
            Ayahku sangat perhatian, Ia selalu mengingatkanku agar semakin rajin belajarnya, dan Ia selalu mendoakan kami disetiap sela sholatnya.
            Suatu ketika aku membutuhkan dana untuk membayar perkuliahan, dan aku harus bilang ke Ayah. Sebernarnya aku mengerti kalau ayah saat ini tak memiliki uang sebanyak uang yang tertolal pada kertas merah yang aku pegang. Dan aku tidak bisa diam saja menyembunyikan kertas itu. Karena satu-satunya pahlawanku didunia ini hanyalah ayah. Ayahku tetap santai melihat jumlah yang tertera pada kertas yang aku berikan. Seolah-olah ayahku memiliki uang banyak.
            “Yah, aku membutuhkan uang segini,” ku berikan kertas berisi rincian pembayaran. Ayahku menyimaknya dengan serius sambil mengangguk-nganggukan kepala.
            “Oh iya, Nak. Gampang kalau Cuma segini. Mau dibutuhkan kapan?”
            “Satu minggu lagi, Yah.”
            “Gampang itu, kamu yang rajin saja belajarnya. Gak usah mikir ini. Biar ini menjadi urusan ayah.”
            “iya, Yah, makasih.”
            Sebenarnya aku merasa tidak enak menjadi anak tertua yang berpendidikan tinggi, tapi masih merepoti orang tua. Namun apa daya, aku juga belum bisa memfokuskan belajar dengan bekerja. Sebelum aku bubar dengan ayah, tiba-tiba adiku yang SMA datang dan minta uang untuk bayar sekolahnya juga. Karena adiku yang ini sudah hampir lulus sekolahnya. Kebutuhan-kebutuhan pembayaran sekolahnya semakin banyak. Ayahku hanya bisa senyum-senyum saja, Ia tidak mengeluh sedikitpun. Aku merasa kasihan melihat ayah yang menanggung segala kebutuhan kami.
            “Yah, aku disuruh bayar ujian. Ini rincianya,”adiku memberikan rincian dana yang dibutuhkan. Ayahku kembali mencermati kertas yang berisi rincian dari adiku dengan seksama. Beberapa detik kemudian ayah menghela nafas panjang-panjag kemudian tersenyum. Disana masih ada aku. Jadi kami bertiga saat itu.
            “Baiklah. Satu minggu lagi uang yang kalian butuhkan akan ayah berikan ya.”
            “Iya, Yah. Gak boleh telat ya, Yah,” sahut adiku.
            “Iya, sayang... Kamu tingkatkan belajarmu. Yang rajin agar menjadi orang sukses nanti.”
            Ayahku memang pahawan terhebat yang pernah kutemui. Ia menganggap permasalahan menjadi senyuman. Ia tetap santai seperti tidak ada masalah apa-apa. Dan seolah-olah Ia memiliki uang banyak untuk kebutuhanku dan adiku. Ternyata benar, satu minggu kemudian aku dan adiku diberi uang sesuai rincian yang kami berikan ke ayah. Aku sedikit berfikir dan heran ke ayahku. Waktu itu aku sempat berfikir apakah ayahku bisa mendapatkan uang yang cukup banyak untuk biaya kuliah dan sekolah adiku. Aku sudah berfikir salah, ayahku benar-benar serius dengan tekadnya memperjuangkan pendidikan kami. Dan aku tidak berani bertanya dapat dari mana uang yang diberikan ke aku.
             pada waktu aku memakai toga disebuah gedung yang disaksikan seluruh wali wisudawan termasuk ayahku. Kebanggaan ayahku tiba saat mendengar aku dipanggil oleh rektor sebagai widuwanan terbaik.  Hanya dengan mengusahakan nilai baik inilah yang hanya bisa ku buat untuk membalas budi kerja keras ayah memperjuangkanku selama ini. Ayahku saat itu merasa terbayar kerja kerasnya ketika melihatku menjadi wisudawan terbaik.
            Ada satu sesi dalam serangkaian acara wisuda, yaitu pemberian penghargaan kepada ayah terfavorit. Dan ayahku dipanggil kedepan oleh rektor, karna ayahku menjadi ayah terfavorit. Aku dan ayahku dipanggil untuk naik ke pentas. Ayahku dapat penghargaan karena semangtanya mencerdaskan anak dari kategori pekerja yang hanya sebagai pemulung, namun bisa memperjuangkan anak sampai jadi sarjana. Disaksikan beribu hadirin dan wisudawan aku dan ayah menjadi sangat bahagia. Khususnya aku yang sangat bangga memiliki ayah seperti ayahku.
           Selesainya  acara wisuda, semua hadirin berhamburan meninggalkan tempat prosesi wisuda. Belum sampai keluar dari pintu tempat wisuda, aku dan ayahku  mendapat satu kejutan baru. Kami didatangi dua orang berjas yang amat rapi. Mereka melamarku agar mau bekerja diperusahaan yang cukup terkenal dinegri ini. Setelah kedua orang itu banyak bicara tentang perusahaanya, mereka memberi pertanyaan yang membuat aku bingung harus menjawab apa.
            “Apakah saudara bersedia bergabung dengan perusahaan kami.”
            Dengan ekspresi seperti orang bodoh, Aku bingung mau menjawab apa, dan aku melihat ayahku. Tenyata ayahku hanya  tersenyum dan mangguk-mangguk saja, kemudian berkata sambil memeluku,
            “Selamat ya, Nak. Kamu memang anak yang ayah banggakan.”
            Mendengar ucapan ayahku, aku berfikir itu adalah kode bahwa aku harus menerima lamaran pekerja itu.
            Seiring berjalanya waktu. Pekerjaanku mampu membuat ekonomi keluargaku menjadi lebih baik. Aku bisa membiayai adiku sekolah dan mampu memenuhi kebutuhan keluargaku. Dan aku memodali ayah agar membuat usaha dirumah. Jadi ayahku tidak perlu besusah payah lagi menyusuri sepanjang jalanan untuk mencari barang-barang bekas .
            Aku sangat bersyukur menjadi seperti saat ini, dan aku tidak lupa kerja keras ayahku dulu yang memperjuangkanku sampai sukses seperti sekarang. Aku mencoba membalas budi sepenuhnya ke ayahku. Aku tidak akan membuat ayah bersusah payah lagi. Cukup pada waktu aku masih kuliah saja ayahku berjuang keras semata-mata hanya agar anaknya menjadi orang sukses.
            Ketika aku menjadi orang sukses, aku harus mampu membahagiakan ayahku dan mengabulkan cita-citanya dulu. Terimakasih sebanyak-banyaknya untuk ayahku yang sudah menjadikanku orang sukses, memperjuangkanku sampai menjadi saat ini. Jasamu tak kan pernah aku lupa. Kan ku usahakan semua yang kau berikan ku bayar lunas. Kau sangat beda dengan ayah lainya, kau mempunyai semangat tinggi, dan kau adalah kunci hidupku. Terimakasih ayah, terimakasih.
           





Previous
Next Post »
Posting Komentar
Thanks for your comment

Ads Inside Post