Begitu besar pengorbanan Ibu untuk
anaknya. Jiwa raga dipertaruhkan, mulai dari
anak itu masih berupa janin hingga menyerupai manusia dalam kandungan.
Betapa sengsaranya seorang Ibu selama Sembilan bulan lamanya terbebani sosok yang
menyerupai manusia dirahimnya. Namun, keiklasan yang dimiliki Ibu mampu mengubah
beban yang begitu berat menjadi seringan kapas.
Seorang
Ibu tak pernah mengeluh dan tak pernah merasa nyenyak disetiap posisi tidurnya.
Terpenting dalam diri seorang Ibu adalah, bagaimana anak yang dikandungnya
merasa senyaman mungkin. Subhanallah, entah seberapa kekuatan seorang Ibu
ketika dianugrahi anak yang dikandung.
Setiap
hari setiap saat, dalam hati maupun mulut seorang Ibu tak pernah lepas
mendoakan sibuah hatinya agar kelak jadi anak sholeh atau sholehah. Doa, doa,
doa, dan terus berdoa tak pernah lepas diucap oleh Ibu. Sangat beruntung anak
yang mempunyai Ibu yang selalu mendoakannya.
Ketika
anak ingin berpindah ke dunia baru, yakni dari dunia rahim ke dunia nyata,
seorang Ibu merasakan sakit yang luar biasa saat melahirkan. Hanya hidup dan
mati yang jadi pilihan terakhirnya. Ketika anak berhasil keluar “Oek, oek,
oek…!”kebahagiaan tak terhingga bagi seorang Ibu mendengar suara pertama anaknya. Letih, lesu, senyum, bahagia, dan tangis
melebur disatu raut muka seorang Ibu saat melihat anaknya lahir sehat.
Tak
selesai sampai disitu, seorang Ibu masih memiliki tanggungan untuk membesarkan
sibuah hatinya. Seorang Ibu masih sibuk mengurusi masa-masa bayi anaknya. Ibu
harus menyusui ketika anak sedang lapar dan haus. Ibu harus menimang ketika
anak sedang menangis. dan Ibu selalu menjadi penghibur setia anaknya setiap
saat. Begitu besar kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya.
Ketika
anak sudah mulai besar dan mulai bisa bicara, sudah dipastikan kebutuhan
semakin tambah banyak. Tiada lain hanya seorang Ibulah yang akan menanggung itu
semua. Hal terpenting bagi seorang Ibu adalah bagaimana kebutuhan anak bisa
tercukupi dengan baik.
“Bu,
Ibu, Aku lapar! Ibu dimana?”dengan nada teriak manja.
“Iya,
Nak…! Sebentar..! Ibu lagi nyuci piring.”
“Cepetlah,
Bu..! lapar nih.”
Sesibuk
apapun seorang Ibu rela meninggalkan hanya untuk anaknya. Tonggak utama
kehidupan seorang Ibu tiada lain adalah anaknya. Karenanya segala kehidupan Ibu
direlakan untuk anaknya. Senakal apapun anak, Ibu selalu sabar, iklas, dan
tersenyum menghadapinya.
Ketika
mulai masuk SD, kebutuhan anak lebih
banyak dari sebelumnya. Seragam sekolah, buku, sepatu, tas, dan sebagainya
harus disiapkan oleh Ibu. Meskipun Ibu tidak memiliki cukup uang untuk membeli
itu semua, Ibu tetap mengusahakan agar semua peralatan sekolah anaknya
terlengkapi.
Seorang
Ibu rela hutang kesana kemari, menjual peralatan berharganya, bekerja apapun
asal mendapat uang, semata-mata hanya untuk anaknya. Meskipun banyak fikiran, badan terasa sakit, namun
seorang Ibu tetap menjaga senyum manis didepan anaknya.
“Hore…! Aku mempunyai seragam baru, dan besok bisa sekolah dengan
seragam baru ini. Makasih Ibu…!”
Ibu
merasa bahagia melihat anaknya bahagia, meski dibalik seragam baru anaknya terhiasi
hutang dari tetangganya.
Esok
harinya ketika Ibu lagi sakit, dan anaknya minta diantar kesekolah, Ibu tak
bisa menolak meskipun keadaannya sakit. Ibu tak ingin mengecewakan anaknya pada
awal masuk sekolah. Dengan manja anak meminta kepada Ibu untuk mengantarkan
kesekolah.
“Bu,
Aku ganteng kan pakai baju baru ini,” sambil menujukan penampilan dengan baju
barunya.
“Iya,
Nak. Kamu ganteng banget pakai baju itu,” senyum kecil.
“Ayo,
Bu. Antarkan ke sekolahan.”
“Iya,
Nak sebentar. Ibu masih minum obat dulu.”
“Cepat
Ibu…!”
“Iya
sebentar.”
Anak
tidak peduli pada keadaan Ibunya, karena memang anak tidak tahu kalau Ibunya
lagi sakit. Ibu memaksakan diri untuk mengantar anak meski keadaan lagi sakit.
Dengan tertatih-tatih Ibu berjalan mengantar anaknya kesekolah. Sampai ditengah
perjalanan, Ibu merasa pusing, pandanganya kabur, dan akhirnya jatuh. Anak
kaget melihat Ibunya yang tiba-tiba jatuh.
“Braakk,
aduh.”
“Bu,
Ibu kenapa?”
“Ibu
tidak apa-apa kok, Nak. Ayo lanjut jalan lagi. Hampir sampai sekolahmu itu.”
Separah
apapun keadaan, Ibu tetap saja menguatkan dirinya untuk berdiri dan mengabaikan
rasa sakitnya. Ibu tidak berani berkata kepada anak kalau dirinya sedang sakit,
karena Ibu tidak ingin kebahagiaan anaknya berkurang ketika mengetahui keadaan
sebenarnya.
Ketika
dewasa, anak mulai sulit diatur, nakal, sering membuat resah Ibunya. Anak itu
mulai mengenal pergaulan. Ia sering berkumpul dengan anak tak berpendidikan
yang suka mabuk, berkelahi, dan balapan liar. Keresahan Ibu semakin
menjadi-jadi ketika anaknya menjadi anak yang nakal tak ber-etika.
Dengan tubuh yang semakin menua,
seorang Ibu masih bersemangat menyekolahkan anaknya kejenjang yang lebih tinggi
yaitu SMA. Pergaulan anak ternyata mempengaruhi kepribaiannya. Anak semakin
nakal dan suka marah-marah ketika keinginannya tak terpenuhi. Sesekali Ibu
meminta tolong anaknya untuk membelikan beras, namun anak tidak mau dan malah
marah-marah.
“Nak, Ibu minta tolong belikan beras
kewarung sebelah.”
“Gak mau, Bu. Beli sendiri saja, aku
lagi asyik main game ini.”
“Sebentar saja, Nak. Ibu lagi sibuk
masak air.”
“Gak mau ya gak mau Bu. Ngerti gak
sih !”
Mendengar anaknya marah-marah karena
tidak mau membelikan beras, Ibu merasa tersentak dan sakit hati. Namun Ibu
tetap diam dan sabar menghadapinya. Akhirnya Ibu berangkat sendiri . Sesakit-sakitnya
perasaan Ibu kepada tingkah laku anak, tak pernah meluapkan kemarahannya.
Lain waktu Ibu sedang mencuci baju,
dan anaknya menghampiri untuk minta belikan sepeda motor sama seperti punya
teman-temannya. Ibu hanya bisa menasehati tidak menolak langsung permintaan
anaknya. Karena pada waktu itu Ibu sedang tidak memiliki uang cukup untuk
membeli motor. Ketika dinasehati, anak malah murka dan menendang cucian Ibunya.
“Bu, belikan motor kayak punya
temen-temenku.”
“Apa, motor Nak. Saat ini Ibu tidak
memiliki uang, Nak.”
“Gak mau tahu. .! Pokoknya segera
belikan motor.” Sambil menendang cucian lalu pergi. Ibu hanya bisa mengelus
dada dan menangis.
“ Astagfirullah…Kuatkanlah hambamu ini ya
Allah, dan maafkanlah segala kelakuannya.”
Kesana kemari Ibu mencari hutangan
tidak ketemu-ketemu, karena hutang Ibu sudah menyebar banyak. Ada satu tokoh
disatu desanya yang biasa memberi jasa hutangan, namun terkenal mengenakan
bunga yang besar. Tanpa berfikir panjang, Ibu langsung menghampiri tokoh
tersebut dan berhutang sebanyak harga motor yang diminta anaknya.
Keesokan harinya datanglah sebuah
motor persis sesuai permintaan si anak. Anak langsung mencoba membunyikan motor
barunya didepan rumah, kemudian langsung menancap gas, lalu pergi entah kemana.
Ibu hanya bisa tersenyum melihat anaknya bahagia meskipun terbebani hutang.
Rupanya anak itu sudah tidak
mempunyai etika lagi terhadap Ibunya. Ia tega kasar dan keterlaluan kepada Ibunya
yang susah payah membesarkan dan memenuhi segala kebutuhanya. Semenjak
dibelikan motor, anak itu selalu membuat khawatir Ibunya. karena hampir setiap
hari pulang larut malam. Anak itu juga mulai suka minuman keras dan tidak bisa
dinasehati lagi.
Suatu ketika anak pulang tengah
malam, sesampainya dirumah dihadang Ibunya untuk dinasihati. Ibu mencium bau alkohol
ketika bicara dengannya dan Ibu sedikit murka. Namun anak itu malah marah-marah
kepada Ibunya saat dinasihati.
Terdengar bunyi sepeda motor,
kemudian masuklah anak kerumah dan langsung dihadang ibunya.
“Dari mana kamu, Nak. Larut malam
gini kok baru pulang?”
Badan
sempoyongan disertai raut muka suram, si anak menjawab pertanyaan ibunya,“Dari
rumah teman, Bu.”
Ibunya
mencium bau alkohol dari mulut anaknya, dan Ibu sedikit murka.
“Ngapain
saja kamu dirumah temenmu, Nak..!”
“Gak
ngapa-ngapain, Bu.”sambil garuk-garuk pantat.
“Kamu
mabuk ya, jawab Nak…! Apa benar kamu mabuk ha…!”
“Akhhh,
minggir…!”mendorong Ibunya sampai jatuh . anak itu pergi kekamarnya dan
langsung terkapar tidur diranjang.
Ibunya menangis dibawah kursi tempat jatuhnya ketika
didorong anak. Ibu menangis tersedu-sedu
sambil mendoakan anaknya.
“Ya
Allah…! Lindungilah anakku. Jauhkanlah dia dari godaan syetan. Ampunilah
dosanya Ya Allah.”
Ibu
mencoba berdiri kemudian berjalan kearah kamar anaknya. Ibu mengintip anaknya
yang tidur pulas dari pintu kamar yang sedikit terbuka disertai mengusap
airmata dengan tangannya.
Setelah
bangun tidur, pagi harinya anak berteriak-teriak kelaparan, meminta segera ada
makanan yang disantap. Sedangkan Ibu masih proses memasak. Rupanya anak itu
tidak sabar menunggu Ibu memasakanya. Anak itu marah-marah minta uang lalu
pergi untuk makan ke warung makan.
“Bu..!
lapar. Mana makananya?”
“Iya,
Nak. Sebentar lagi. Ibu masih memasak.”
“Ahh,
kelamaan…! Minta uangnya saja, aku makan diluar.”
“Tunggu
sebentar lah, Nak. Hampir matang ini masakannya.”
“Gak
mau lama.”
Anak
melihat sejumlah uang yang ada disebelah tempat masakan Ibunya, tanpa izin, si
anak langsung mengambilnya lalu pergi. Ibu tidak merelakan uang diambil anak,
karena uang itu untuk belanja selanjutnya. Ketika anak dicegah malah
marah-marah kepada ibunya.
“Jangan,
Nak. Uang itu untuk belanja nanti.”
“Biar
, gak peduli…!
“Tunggu
sebentar, Nak. Masakannya hampir matang. Kamu makan dirumah saja.” Sambil
memegang tangan si anak.
“Akh,
gak mau.” Mengibaskan tangan yang dipegangi Ibunya lalu pergi. Ibu hanya bisa
merenungkan diri dan sedih melihat tingkah anaknya saat ini.
“Astagfirullah,
apa salah hamba ya allah sampai engkau menjadikan anakku seperti itu.”
Siang
itu si anak mengalami kecelakaan dijalan raya dengan sepeda motornya rusak
parah. Diduga anak itu ngebut disaat mengendarai motornya. Karena tak
terkendali, motornya menabrak pohon
besar dipinggir jalan. Seketika anak itu meninggal ditempat dan langsung
diangkut ambulan. Datanglah ambulan yang membawa mayat sianak ke rumah Ibu.
Betapa terkejutnya Ibu melihat ambulan datang dirumahnya yang ternyata berisi
mayat anaknya. Seketika Ibu pinsan tak sadarkan diri berjam-jam.
Ketika
Ibu sadar, mayat anaknya sudah bersih dimandikan. Ibu mendekati mayat anaknya
sembari menangis merasakan kesedihan yang mendalam.
“Kenapa
kau jadi seperti ini, Nak. Kau satu-satunya anak Ibu yang berharga didunia ini,
Nak. Mengapa kau tinggalkan Ibu?” sedih, menangis tersedu-sedu sambil memeluk
mayat anak.”Maafkanlan segala dosa anakku ya Allah. Biarkanlah dosanya hamba
tanggung ya Allah. Segala kesalahan yang dilakukan adalah kesalahanku yang
gagal mendidiknya agar menjadi anak soleh Ya Allah. Biarlah hamba yang
menanggung dosa-dosanya Ya Allah.” Tangisan Ibu semakin deras, kemudian pinsan.
Besarnya
kasih sayang Ibu untuk anak tak dapat diukur dengan apapun. Meskipun anak
selalu menyakitinya, tetapi Ibu tidak membalas dengan kemurkaan. Setiap tingkah
laku anaknya di hadapi dengan senyuman. Kehidupan anak dari kecil sampai
dewasa, bahkan sampai mati dilayani dengan baik oleh seorang Ibu. Sampai Ibu
lupa bagaimana untuk mengurusi dirinya sendiri. Segala hidupnya dipertaruhkan
untuk seorang anak. Ibu hanya menginginkan anak menjadi anak baik, anak sholeh
yang berbakti.